Konflik atas nama pemilihan pemimpin di desa bagaikan lingkaran setan yang sulit diputuskan.
Kita yang hidup di pedesaan sepertinya tidak mau belajar dari masa lalu kita, andai kita lihat dan telaah apa yang telah terjadi sebelumnya dan apa sebabnya? Kemudian kita pakai pelajaran tersebut didalam membuat sebuah kebijakan supaya hal buruk yang sama tidak terulang kembali, kita tidak akan jatuh kedalam lubang permasalahan yang sama. Sehingga perpecahan dalam kehidupan masyarakat di desa kita bisa dihindari.
Karena Kerukunan masyarakat desa merupakan aset besar yang dimiliki desa, sekaligus sebagai modal dasar pembangunan desa, sebagaimana gotong royong bisa tercipta karena adanya kerukunan masyarakatnya.
Justru hal yang penting itu, mengapa kemudian kita biarkan terkoyak lantaran persoalan perbedaan pilihan dalam kontestasi pemilihan pimpinan tersebut.
Sangat ironis memang, sepertinya kita semua lupa tujuan pemilihan itu kemana? tidakkah diharapkan dari kegiatan demokrasi ini kemudian lahir seorang pemimpin yang diharapkan, seseorang yang mampu menyajikan kehidupan kita menjadi lebih baik. Lantas mengapa kok malah yang didapat konflik? Sebenarnya ada apa? Apa sebabnya?
Apakah benar kita lupa pada tujuan dari berdemokrasi ini? ataukah ada masalah lain? kalaulah benar lupa maka sekiranya mari mengingat kembali bahwa tujuan kontestasi demokrasi Pilkades adalah mencari seorang pemimpin desa sesuai amanat masyarakatnya, yang kemudian diharapkan mampu mewujudkan bukan hanya desa yang maju tetapi juga aman, damai, jauh dari konflik dan disintegrasi sosial.
Masyarakat yang mudah lupa karena sengaja atau tidak, dapat dikatakan bahwa sebenarnya mereka takut dan tidak mau ambil resiko untuk mencari solusi apalagi tindakan atau aksi, bisa jadi kalaupun ada ide-ide baru pun dijamin akan dibiarkan, karena mereka beranggapan nyaman dengan keadaannya sekarang disamping memang dirasa ada sedikit keuntungan meski secara sadar kenikmatannya hanya sesaat yang kemudian menyesal.
Dengan pembiaran masalah inilah, kemudian konflik saban Pilkades terus ada, konflik dianggap hal yang biasa dan lumrah, tidak dianggap masalah yang butuh solusi untuk mengatasinya. Mahalnya biaya Pilkades yang konon dirasakan para kontestan pemilihan merupakan alasan yang sering menjadi dalih penyebab konflik. Mereka seperti bermain judi gelap mata dengan kemenangan, sehingga sangat berani jor-joran dengan uang, sebuah pola instan untuk mendulang suara demi kemenangan, yang akhirnya ketika mendapati kekalahan mereka tidak bisa menerimakan. Padahal itu sebuah resiko yang jelas namun tetap terus diulang, suatu kebodohan yang tercipta dari sifat rakus akan kekuasaan.
Diawali dari kerakusan kekuasaan segelintir orang tersebut serta sikap fanatik dalam pendukungan yang menyatu pada obsesi dan ambisi kemenangan dimasing-masing pihak sehingga timbullah sebuahgesekan-gesekan panas dan finalnya terjadi konflik karena pihak yang kalah tidak merelakan. Gesekan pada Pilkadesa sangat kontras dibanding Pilkada bahkan Pilpres sekalipun.
Kerakusan kekuasaan dan kehidupan di era pragmatisme sekarang, dimana segala sesuatu berakhir pada hasil tanpa peduli akan proses, mendorong orang berbuat semaunya dengan menghalalkan segala cara yang akhirnya kontestasi demokrasi Pilkades seolah hanya diperuntukkan bagi kalangan pemodal atau orang-orang yang memiliki banyak uang. Karena image mahal Ongkos Pilkades sudah berhasil membuat ciut nyali kalangan ekonomi minus atau pas pasan untuk berani tampil mengadu peruntungan dalam pemilihan.
Saya sangat mengapresiasi lahirnya perhatian pemerintah terhadap Pilkades ini, sejak pelaksanaan Pilkades serentak tahun 2015, 2017 dan 2019 sekarang biaya belanja Pilkades dimuat dalam APBD, jadi para kontestan pemilihan tidak sedikitpun dikenai beban anggaran, namun demikian apakah hal ini lantas bisa menjadi sebuah solusi ataukah malah menambah masalah baru atau lanjutan? Sebab sekarang semua orang sudah faham bahwa anggaran di desa sudah dilevel angka milyaran, tidakkah ini sangat merangsang?
Saya yakin di desa-desa sudah banyak orang yang cerdas dengan prestasi akademis berkelas, untuk mau bersama memikirkan solusi atas konflik yang timbul karena Pilkades ini. jangan sampai keadaan demikian dimanfaatkan sebagai peluang keuntungan yang nyaman bagi oknum pemodal dengan sengaja membiarkan kita hidup dalam perpecahan.
Kita harus berpikiran maju guna mewujudkan kehidupan masyarakat desa yang lebih baik, yang dilandasi kerukunan meski dalam keragaman perbedaan pendapat dalam pemilihan.
Terimakasih untuk yang mau bersinggah di blog saya.
Kita yang hidup di pedesaan sepertinya tidak mau belajar dari masa lalu kita, andai kita lihat dan telaah apa yang telah terjadi sebelumnya dan apa sebabnya? Kemudian kita pakai pelajaran tersebut didalam membuat sebuah kebijakan supaya hal buruk yang sama tidak terulang kembali, kita tidak akan jatuh kedalam lubang permasalahan yang sama. Sehingga perpecahan dalam kehidupan masyarakat di desa kita bisa dihindari.
Karena Kerukunan masyarakat desa merupakan aset besar yang dimiliki desa, sekaligus sebagai modal dasar pembangunan desa, sebagaimana gotong royong bisa tercipta karena adanya kerukunan masyarakatnya.
Justru hal yang penting itu, mengapa kemudian kita biarkan terkoyak lantaran persoalan perbedaan pilihan dalam kontestasi pemilihan pimpinan tersebut.
Sangat ironis memang, sepertinya kita semua lupa tujuan pemilihan itu kemana? tidakkah diharapkan dari kegiatan demokrasi ini kemudian lahir seorang pemimpin yang diharapkan, seseorang yang mampu menyajikan kehidupan kita menjadi lebih baik. Lantas mengapa kok malah yang didapat konflik? Sebenarnya ada apa? Apa sebabnya?
Apakah benar kita lupa pada tujuan dari berdemokrasi ini? ataukah ada masalah lain? kalaulah benar lupa maka sekiranya mari mengingat kembali bahwa tujuan kontestasi demokrasi Pilkades adalah mencari seorang pemimpin desa sesuai amanat masyarakatnya, yang kemudian diharapkan mampu mewujudkan bukan hanya desa yang maju tetapi juga aman, damai, jauh dari konflik dan disintegrasi sosial.
Masyarakat yang mudah lupa karena sengaja atau tidak, dapat dikatakan bahwa sebenarnya mereka takut dan tidak mau ambil resiko untuk mencari solusi apalagi tindakan atau aksi, bisa jadi kalaupun ada ide-ide baru pun dijamin akan dibiarkan, karena mereka beranggapan nyaman dengan keadaannya sekarang disamping memang dirasa ada sedikit keuntungan meski secara sadar kenikmatannya hanya sesaat yang kemudian menyesal.
Dengan pembiaran masalah inilah, kemudian konflik saban Pilkades terus ada, konflik dianggap hal yang biasa dan lumrah, tidak dianggap masalah yang butuh solusi untuk mengatasinya. Mahalnya biaya Pilkades yang konon dirasakan para kontestan pemilihan merupakan alasan yang sering menjadi dalih penyebab konflik. Mereka seperti bermain judi gelap mata dengan kemenangan, sehingga sangat berani jor-joran dengan uang, sebuah pola instan untuk mendulang suara demi kemenangan, yang akhirnya ketika mendapati kekalahan mereka tidak bisa menerimakan. Padahal itu sebuah resiko yang jelas namun tetap terus diulang, suatu kebodohan yang tercipta dari sifat rakus akan kekuasaan.
Diawali dari kerakusan kekuasaan segelintir orang tersebut serta sikap fanatik dalam pendukungan yang menyatu pada obsesi dan ambisi kemenangan dimasing-masing pihak sehingga timbullah sebuahgesekan-gesekan panas dan finalnya terjadi konflik karena pihak yang kalah tidak merelakan. Gesekan pada Pilkadesa sangat kontras dibanding Pilkada bahkan Pilpres sekalipun.
Kerakusan kekuasaan dan kehidupan di era pragmatisme sekarang, dimana segala sesuatu berakhir pada hasil tanpa peduli akan proses, mendorong orang berbuat semaunya dengan menghalalkan segala cara yang akhirnya kontestasi demokrasi Pilkades seolah hanya diperuntukkan bagi kalangan pemodal atau orang-orang yang memiliki banyak uang. Karena image mahal Ongkos Pilkades sudah berhasil membuat ciut nyali kalangan ekonomi minus atau pas pasan untuk berani tampil mengadu peruntungan dalam pemilihan.
Saya sangat mengapresiasi lahirnya perhatian pemerintah terhadap Pilkades ini, sejak pelaksanaan Pilkades serentak tahun 2015, 2017 dan 2019 sekarang biaya belanja Pilkades dimuat dalam APBD, jadi para kontestan pemilihan tidak sedikitpun dikenai beban anggaran, namun demikian apakah hal ini lantas bisa menjadi sebuah solusi ataukah malah menambah masalah baru atau lanjutan? Sebab sekarang semua orang sudah faham bahwa anggaran di desa sudah dilevel angka milyaran, tidakkah ini sangat merangsang?
Saya yakin di desa-desa sudah banyak orang yang cerdas dengan prestasi akademis berkelas, untuk mau bersama memikirkan solusi atas konflik yang timbul karena Pilkades ini. jangan sampai keadaan demikian dimanfaatkan sebagai peluang keuntungan yang nyaman bagi oknum pemodal dengan sengaja membiarkan kita hidup dalam perpecahan.
Kita harus berpikiran maju guna mewujudkan kehidupan masyarakat desa yang lebih baik, yang dilandasi kerukunan meski dalam keragaman perbedaan pendapat dalam pemilihan.
Terimakasih untuk yang mau bersinggah di blog saya.